post

Tingkat Kematian Tertinggi Se-Asia Tenggara, Pemerintah Terlalu Lambat!

Tingkat Kematian Tertinggi Se-Asia Tenggara, Pemerintah Terlalu Lambat! – Per 30 Maret 2020 pukul 12.00 wib, Indonesia mencatat 1.414 kasus positif COVID-19 atau ada penambahan kasus 129 orang sejak 29 Maret 2020. Dari jumlah kumulatif tersebut, terdapat delapan kematian baru sehingga kumulatif kematian di Indonesia mencapai 122 orang.

Sementara untuk kasus sembuh, ada penambahan 11 orang sehingga total yang sudah sembuh mencapai 75 orang.

PENANGGANAN COVID-19 YANG LAMBAT, HINGGA JUMLAH KEMATIAN TERTINGGI DI ASIA TENGGARA

Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara dengan angka kematian tertinggi. Hingga saat ini Brunei Darussalam mencatat satu kasus kematian pada 28 Maret 2020, sejak mengumumkan kasus pertama kali pada 8 Maret. Per 30 Maret, total kasus positif di Brunei mencapai 127 orang.

Sementara Malaysia mencatat 37 kasus kematian dari total kasus positif 2.626 orang. Padahal, COVID-19 sudah masuk ke Malaysia lebih awal dari Indonesia yakni pada 24 Januari 2020.

Singapura hingga 30 Maret mencatat 879 kasus positif dengan tiga kasus kematian sejak kasus positif pertama diumumkan pertama kali pada 22 Januari.

Filipina yang melaporkan kasus positif pertamanya pada 29 Januari mencatat 78 kematian dari total kasus positif 1.546 orang. Thailand yang memiliki kasus positif lebih banyak dari Indonesia, yakni 1.524 kasus, memiliki angka kematian 9 orang.

Dengan angka kematian tersebut, Indonesia mencatat Case Fatality Rate (CFR) sebesar 8,63 persen.

Dihimpun dari laman WorlOMeter, jika dibandingkan dengan negara-negara dengan kasus positif COVID-19 tertinggi di dunia, Indonesia menempati urutan kedua setelah Italia yang memiliki CFR 11,39 persen dengan total kasus kematian 11,591 orang.

Setelah Indonesia, ada Spanyol yang memiliki tingkat kematian sebesar 8,62 persen. Kendati total kematiannya mencapai 7.340 orang.

Sementara untuk tingkat kesembuhan pun, Indonesia merupakan yang terendah kedua jika dibandingkan dengan tujuh negara dengan kasus positif terbanyak di dunia. Tingkat kesembuhan terendah dipegang Amerika Serikat dengan 3,58 persen atau 5,211 kasus dari 145.369 total kasus positif di negara itu.

GPP KOK RAKYAT INDONESIA ADA 250JUTA JIWA, JADI CUMA MATI 100 TIDAK MASALAH.. “ya mungkin itu pemikiran mereka”

#terlalulambat #pengobatanlemah #terlalulembek #banyakcapciscus

Sejauh ini, Cina berhasil menjadi negara dengan tingkat kesembuhan tertinggi yakni dengan 75.700 kasus dari total kasus positif 81.470 di seluruh daratan Cina.

Indonesia Mesti Gerak Cepat
Dengan tingkat kematian demikian tinggi, seyogyanya Indonesia mesti bergerak cepat dan efektif dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Hingga 29 Maret atau 27 hari setelah kasus positif pertama diumumkan, pemerintah Indonesia belum juga memberlakukan lockdown atau karantina wilayah. Alih-alih memberlakukan lockdown, pada 30 Maret 2020 Presiden Joko Widodo justru menerapkan kebijakan apa yang istana sebut sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan diikuti dengan penerapan darurat sipil.

“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil,” tegas Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Negara, Senin (30/3/2020).

Sebelumnya, pemerintah pusat juga berkali-kali memperingatkan daerah untuk tidak melakukan kebijakan lockdown untuk menangani Corona COVID-19. Saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akan cenderung menerapkan kebijakan itu, pertengahan Maret lalu, Presiden Jokowi lekas mengatakan itu adalah kewenangan pusat.

Tapi pernyataan itu tidak lantas membuat daerah lain berhenti melakukan lockdown–atau apa pun sebutannya, sepanjang itu mengarah ke kebijakan penutupan wilayah–terutama setelah pandemi ini semakin menyebar tidak hanya di Jakarta sebagai episentrum dan semakin banyak orang mengungsi atau pulang kampung. Beberapa daerah yang memutuskan melakukan itu di antaranya Papua, Tegal, dan Aceh. Ada pula lockdown yang merupakan inisiatif warga.

BACA JUGA : PNS Dilarang Mudik Lebaran

Terbaru, Kementerian Perhubungan membatalkan kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan mobilisasi angkutan umum bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), Antar Jemput Antar Provinsi (AJAP) dan Pariwisata dari dan ke luar Jakarta.

Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan keputusan ini diambil dengan dalih kebijakan Pemprov DKI Jakarta belum punya “kajian dampak ekonomi” sesuai dengan arahan dari Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang juga Plt Menhub.

KEMATIAN TERTINGGI DI ASIA TENGGARA

Dalam manajemen krisis menghadapi pandemi, pemda justru terlihat lebih gesit ketimbang pemerintah pusat yang masih terus tarik ulur soal lockdown. Padahal, dalam menghadapi musuh tak kasat mata seperti virus Corona ini, pemerintah harus bergerak cepat.

Dengan tingkat kematian dan penanganan yang sama seperti saat ini, jika Indonesia disimulasikan mencapai angka kasus seperti Amerika Serikat, maka kematian di Indonesia bisa menyentuh angka 12 ribu jiwa.

post

Penyebab Pasien Suspect Corona di Semarang Meninggal

Seorang pasien laki-laki di Rumah Sakit (RS) dr Kariadi Semarang meninggal pada Minggu (23/2). Ia sempat dirawat di ruang isolasi karenasuspectcorona.

Pasien tersebut dinyatakan suspect karena memenuhi unsur diduga terjangkit virus dengan nama COVID-19 itu. Di antaranya memiliki gejala seperti batuk, demam, flu, dan sesak napas.

Sebelum meninggal, pasiensuspectcorona itu sempat melakukan perjalanan ke Madrid, Spanyol. Negara itu terdapat 9 kasus positif corona hingga Kamis (27/2). Dia juga sempat transit di Dubai, Uni Emirat Arab.

Karena punya riwayat ke luar negeri dalam 14 hari, pihak RS mengkategorikan pasien berumur 37 tahun itu dalam pengawasan khusus dan harus diisolasi.

Wabah Covid-19

“Dia riwayat perjalanan dari Spanyol transit Dubai, masuk Indonesia tanggal 12 Februari, lalu 17 Februari dirawat di rumah sakit daerah kemudian tanggal 19 dirujuk dan masuk ke sini,” kata Direktur Medik dan Keperawatan RSUP dr Kariadi, Agoes Oerip Poerwoko.

Penyebab kematian pasien itu disebut bukan karena virus corona. Namun, sempat muncul keterangan yang berbeda-beda dari otoritas yang berwenang.

Penyebabnya disebut pneumonia hingga flu babi. Bagaimana kronologinya?

Pneumonia

Setelah pasien meninggal, dokter belum langsung bisa menyimpulkan penyebab kematian. Sebab, sampel dahak pasien dikirim ke Kementerian Kesehatan. Hasil lab Litbangkes menyatakan pasien itu meninggal karena pneumonia.

“Yang bersangkutan itu meninggal bukan karena coronavirus. Karena berdasarkan hasil pemeriksaan swab (usap tenggorokan) itu negatif. Jadi dia meninggal karena gagal napas yang diakibatkan infeksi di paru-paru atau diagnosanya namanya pneumonia,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Anung Sugihantono, Selasa (25/2).

Anung menyebut pneumonia bisa disebabkan oleh tiga faktor. Bukan hanya karena virus, tapi juga infeksi kuman atau bakteri.

Bronkopneumonia

Berselang sehari setelah keterangan dari Kemenkes, Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) RSUP dr Kariadi, dr Fathur Nur Kholis menyebut meninggalnya pasien karena kerusakan paru-paru akibat infeksi paru dan saluran pernafasan.

Ia menegaskan sebabnya bukan karena virus corona, melainkan bronkopneumonia. Kata Fathur, ini merupakan infeksi yang mengakibatkan terjadinya peradangan pada paru-paru yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur.

5Togel | Agen Togel Online Terpercaya

“Bapak yang kemarin meninggal tingkat bronkopneumonia itu sangat berat, tingkat kerusakan paru-parunya cukup berat, kemungkinan penyebabnya bakteri,” terang Fathur di Semarang, Rabu (26/2).

Flu Babi

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto turut angkat bicara mengenai pasien suspectcorona di RS Kariadi ini. Ia senada soal penyebab kematian pasien tersebut bukan karena COVID-19.

Namun demikian, Terawan menyebut keterangan yang berbeda dengan pihak RS dan bawahannya di Kemkes. Ia mengatakan penyebab meninggalnya adalah virus H1N1 atau flu babi (swine flu) dan bukan bakteri seperti informasi sebelumnya.

“Jadi ini bukan COVID-19, tapi ketemunya H1N1, hasilnya di polymerase chain reaction (PCR) dua kali. Kalau H1N1 ada obatnya dan persediaannya ada,” kata Terawan di Gedung Menko PMK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (27/2).